Beberapa hari yang lalu saya mengunjungi salah satu bibi saya, dan bercengkrama dengannya. Walaupun suara penuturan bibi tidak menggebu-gebu, tetapi dari pembicaraan, masih juga tersirat belas kasihan pada anaknya dan ketidak puasan terhadap menantunya.
Sebelum anak laki-laki bibi menikah, bibi tidak pernah tega membiarkan anaknya itu mengerjakan urusan rumah tangga, tetapi tidak dia sangka, setelah menikah banyak sekali pekerjaan rumah tangga yang tidak dikerjakan oleh menantunya, bahkan masak nasi pun jarang.
Dengan kedua mata memerah bibi berkata, dia tidak menyangka anak laki-lakinya bisa telepon pulang ke rumah dan menanyakan kepadanya cara untuk bisa memasak daging bacam seperti buatan mamanya.
“Sungguh malang putra saya, setiap hari harus susah payah bekerja, pulang masih harus memasakkan nasi untuk keluarga” Bibi saya mengeluh dengan sangat marah karena merasa putranya diperlakukan tidak adil.
Dan menantu yang dikeluhkan oleh bibi saya ini, sepengetahuan saya, dia juga adalah seorang wanita karier. Di dalam kehidupan dunia moderen yang sangat sibuk ini, kebanyakan keluarga kecil tidak memiliki waktu untuk memasak dan menyiapkan hidangan makan di rumah sendiri, hampir semuanya mengandalkan makan di luar untuk menanggulangi masalah perut. Saya yang selama ini selalu sibuk dalam pekerjaan, bisa memahami perasaan ketidak sanggupan semacam ini.
Ketika berbicara tentang anak perempuannya, bibi mengeluhkan bahwa mertua anak perempuannya itu terlalu menggantungkan diri kepada anak perempuannya, sehingga beban anaknya itu menjadi bertambah banyak.
Melihat bibinya yang menyuarakan ketidak-adilan bagi anak perempuannya, saya menyadari cinta kasih dari seorang ibu kepada anaknya dan pilih kasih seorang mertua kepada anaknya.
Siapapun juga akan mengharapkan anak-anaknya sendiri bisa hidup dengan bahagia, untuk itu ia akan memandang pengorbanan dari pihak yang lain sebagai suatu hal yang sewajarnya, bahkan terkadang menuntut hal-hal secara berlebihan. Di dalam mata kepalanya tidak terlihat kekurangan dari anak perempuannya sendiri, tetapi ia hanya melihat kekurangan dari orang lain.
Mengapa tidak mencoba berpikir dari sudut lain : Bahwa pasangan anaknya itu, bukankah juga merupakan buah hati dari orang tuanya?
Menerima seorang anggota keluarga yang baru, bila pada awal-awalnya merasakan ketidak cocokan itu adalah wajar, memberikan kelonggaran dan perhatian sebanyak-banyaknya, mungkin merupakan minyak pelumas bagi terbinanya hubungan keluarga yang harmonis.
Jika bisa memandang segala sesuatunya dengan obyektif dan dengan prinsip yang sama, sebenarnya juga bisa menemukan bahwa anak kita sendiri sebenarnya juga tidak sesempurna seperti apa yang kita bayangkan!
Hubungan dan interaksi yang ada antara suami istri, sebenarnya adalah suatu pembelajaran jangka panjang dari dua individu yang berbeda dan merupakan suatu pelajaran dalam hidup agar mereka bisa hidup berdampingan secara harmonis, lebih-lebih adalah suatu kesempatan agar diri kita sendiri bisa berubah menjadi lebih matang, belajar untuk memperhatikan orang lain dan mengurangi ego kita.
Dengan tertawa saya berkata kepada bibi, “Bagus sekali! Anak lelakimu itu sudah bisa melakukan pekerjaan rumah tangga! Dia hebat seperti suami bibi!”
Mendengarkan perkataanku ini, bibi menjadi agak tercengang, karena suaminya memang bisa mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga tidak peduli sekecil dan sekasar apapun juga.
Kemudian dengan tertawa yang agak kecut bibi berkata, “Ya memang betul! Lelaki baik seperti dia sekarang sudah tidak bisa ditemukan lagi.”
He..he…he! saya hanya tertawa-tawa dengan jenaka. Semoga pikiran bibi menjadi lebih terbuka dan tidak merasa anaknya telah diperlakukan tidak adil. (The Epoch Times/lin)