Saya telah memutuskan untuk mengubah kebiasaan saya dalam bersih-bersih. Saya memerlukan alasan yang cukup rasional untuk melakukan perubahan tersebut.
Minggu ini, saya memandangi peralatan kebersihan yang biasa saya gunakan, termasuk tisu pembersih, spon pembersih, dan alat pembersih lainnya. Agar supaya saya dapat mempertimbangkan untuk tidak menggunakan mereka lagi atau mengurangi pemakaian, sebelumnya saya perlu mencari tahu mengapa saya menggunakan mereka, dan mungkin harus mencari tahu alasan mengapa mereka bisa eksis.
Sebelum ada tisu pembersih, saya terbiasa menggunakan lap kain untuk membersihkan tumpahan air. Sejak kain digunakan, setiap rumah tangga harus memiliki banyak lap pembersih.
Coba pikirkan: membersihkan debu, membersihkan jendela, tumpahan pada dapur, semuanya perlu memakai kain lap. Tentu saja, ini juga adalah sebuah cara untuk mendaur ulang penggunaan kain sprei, sarung bantal, dan handuk usang serta kain perca sisa pakaian. Sebaliknya, kain juga perlu dibersihkan. Jadi air yang di gunakan untuk membersihkannya itu juga perlu menjadi pertimbangan.
Daya serap kain mungkin saja tidak setinggi tisu pembersih. Jika kain digunakan untuk membersihkan benda cair yang tumpah, maka tergantung pada jenis tumpahannya, kain mungkin perlu dibersihkan secepatnya, atau setidaknya dibilas.
Sebaliknya, jika Anda menggunakan tisu pembersih untuk membersihkan tumpahan, mereka dapat dengan segera dibuang ke dalam tempat sampah.
Di rumah saya, saya memiliki beberapa handuk usang yang biasanya saya gunakan untuk membersihkan tumpahan dalam jumlah besar. Saya juga memiliki sebuah kain pel dan beberapa kain perca kecil, handuk tangan usang yang dapat digunakan untuk membersihkan segala sesuatu.
Bagaimanapun juga, ada beberapa pekerjaan yang selalu menggunakan tisu pembersih untuk membersihkan, dan saya telah terbiasa menggunakan tisu pembersih untuk pekerjaan seperti membersihkan kaca jendela, kaca rias, pigura foto.
Selain untuk membersihkan kaca dan permukaan keramik (seperti kamar mandi, khususnya), hal-hal lain di mana saya biasa memakai tisu pembersih adalah saat membersihkan tumpahan kotoran yang ada pada kompor, mengelap tangan saya ketika memasak, dan menutup makanan dalam microwave sehingga tidak berceceran.
Jika saya mau mengganti memakai beberapa jenis kain untuk pekerjaan membersihkan, dan hanya menggunakan tisu kertas sesekali, saya percaya bahwa saya dapat banyak mengurangi pemakaian tisu pembersih dan yang terpenting adalah, akan menjadi terbiasa menggunakan kain untuk membersihkan.
Ini mungkin tidak seperti sebuah langkah besar, tapi menurut saya ini adalah sesuatu langkah yang kritis: dengan tujuan “hidup bersih dan hijau”, kita perlu melangkah keluar dari kebiasaan yang membuat kita mengira bahwa segala sesuatu harus disposable (sekali pakai buang).
Segalanya yang dapat dibuang pada akhirnya harus pergi ke suatu tempat juga, dan makin banyak barang disposable yang kita gunakan, kemudian dibuang, maka akan makin banyak tempat yang diperlukan untuk benda-benda tersebut.
Benda-benda disposable telah membuat dunia kita menjadi tumpukan sampah, dan kita hidup berada tepat di antaranya.
Untuk halnya spon pembersih ataupun pembersih lainnya, saya rasa perlu memperhatikan, mempertimbangkan mengapa saya juga membutuhkan barang-barang tersebut. Spon pembersih dapat dicuci, tapi pada akhirnya akan dipenuhi dengan bakteri, robek, dan berakhir menjadi sampah juga. Tisu gulung enak dipakai, dan pada akhirnya juga tidak lebih baik daripada tisu pembersih.
Saya pikir bahwa tisu pembersih, spon pembersih, dan tisu gulung pembersih adalah enak dipakai, itulah alasan mengapa kita menggunakannya. Bukankah mereka memboroskan kertas (hasil dari pepohonan!) dan bukankah plastik kemasannya tidak dapat didaur ulang (menghabiskan lahan!) dan bukankah mereka hanya menanamkan mentalitas disposable yang selama ini telah mempengaruhi kita?
Semua pemikiran ini mengingatkan saya pada hal yang disebut “Pembasuh-Tangan” yang telah muncul terlebih dahulu sebelum tisu pembersih menjadi populer.
Pada dasarnya mereka juga disposable, tapi Anda dapat memakainya beberapa kali sebelum membuangnya. Pada akhirnya, apakah mereka hanya merupakan suatu perintis atas terciptanya tisu pembersih, sebuah cara untuk menjadikan konsumen terbiasa berpikir untuk membuang barang? (Barbara Gay/The Epoch Times/mer)