Sebuah mobil Fiat di Perancis mempropagandakan slogan, CO2 berkurang 25%, yang dipamerkan pada Pameran Mobil Geneva ke-79. (AFP/GETTY IMAGES)
Beberapa waktu lalu pabrik-pabrik pembuat mobil masih mengandalkan pada kecepatan dan tenaga (horsepower/daya kuda) tertinggi untuk menjual produk-produk mereka. Di abad ke-21 semua pembuat mobil di Eropa berlomba tentang jumlah gram perkilometer untuk emisi CO2.
Kecenderungan itu sangat mencolok bagi para pembuat mobil di acara tahunan Geneva Motor Show (Pameran Mobil Jenewa) minggu ini, dengan banyaknya label prestasinya sehubungan dengan emisi CO2 perkilometer pada mobil-mobil baru mereka yang mengkilat.
Gerakan menuju ‘hemat bahan bakar’ dan ‘emisi yang bersih’ telah menjadi suatu semangat sejak Uni Eropa membuat sebuah persetujuan sementara, akhir tahun lalu, untuk memangkas emisi gas rumah kaca (CO2) dari mobil, menetapkan target sebesar 130 gr/km sebagai tahap pendekatan yang dimulai pada 2012, dan harus ditaati penuh pada 2015.
Emisi CO2 Rata-rata 158 Gram
Perhatian pelanggan dan birokrat terhadap CO2 tidak akan sirna meskipun harga gas sudah sangat berkurang. Jeffrey Guyton, seorang eksekutif pada Perwakilan Mazda Motor di Eropa, menyampaikannya pada Reuters di pameran tersebut.
“Saya pikir pasar akan terus menurunkan target gr/km emisi gas CO2, meskipun akan ada batasnya.” Pabrik pembuat mobil terpaksa memenuhi atau setidak-tidaknya mendekati ketentuan target tersebut karena sesudah itu untuk setiap gram kelebihannya akan dikenakan denda.
Banyak negara juga menawarkan insentif bagi pelanggan yang membeli mobil yang lebih ramah lingkungan, dengan demikian membuat pembacaan gr/km sebagai suatu alat pemasaran yang penting.
Meskipun Volkswagen Bentley Motor mengungkapkan “Flex-fuel (bahan bakar yang dengan mudah dapat diganti), Continental Supersports, pada merek super mewahnya, merupakan langkah pertama ke arah pembuatan seluruh mobilnya yang mampu berjalan dengan menggunakan bahan bakar yang dapat diperbaharui.
Aneka Pilihan
Pendekatan untuk mencapai target emisi adalah bervariasi dan sering kali menjadi pokok perselisihan di dalam industri itu sendiri.
Sebagian besar merek Eropa adalah pelopor lama di bidang teknologi diesel, yang sebagian besar mengandalkan mesin diesel yang “bersih” yang lebih mahal tetapi secara struktur setidak-tidaknya 20 persen lebih efisien dibandingkan dengan sebuah mesin bensin berukuran sama.
Di stan Volkswagen, sebuah VW Golf bertenaga blue diesel yang dipamerkan, tertera “CO2 99 gr/km” yang disemprotkan melintang pada kap mobilnya.
Sebagian besar pabrik pembuat mobil juga sudah ikut serta sebagai pelopor mobil hybrid Jepang dalam menyelidiki opsi mesin motor listrik, yang oleh Toyota Motor dikatakan bahwa opsi tersebut merupakan teknologi ramah lingkungan yang paling efektif dan serbaguna.
Tetapi perang kata-kata yang selalu mengunggulkan opsi-opsi terbaik terus berlanjut, Thomas sebagai kepala penelitian Daimler mengatakan akhir minggu lalu, bahwa pabrik pembuat mobil Jerman dapat memperbaiki mesin bakar konvensionalnya sampai pada suatu keadaan di mana mobil buatannya dapat diatur mencapai 140 gram tanpa bantuan tenaga listrik apapun.
Sementara itu tetap di arena mobil hybrid, Toyota mengerjakan dengan hati-hati untuk menjaga teknologi full hybrid-nya dari Honda Motor yang lebih sederhana, lebih murah tetapi tanpa sistem efisiensi bahan bakar seperti yang digunakan untuk mengisi tenaga Honda Insight baru.
Toyota sesumbar bahwa Prius generasi ketiganya yang direncanakan rilis akhir tahun ini dapat menempuh 100 km hanya dengan 3,9 liter bensin dan emisi CO2 nya 89 gram.
“Mild hybrid terbaru yang beredar di pasaran hanya mencapai 101 gram saja,” kata kepala teknisi Prius, Akihiko Otsuka, pada sebuah konferensi pers di Jenewa, sambil menunjuk kepada Honda Insight, tetapi belum dinamai.
Akan tetapi sebagaimana teknologi baru apapun, para pembuat mobil harus menemukan keseimbangan yang baik antara produksi dan pengembangan biaya tinggi dengan minat pelanggan demi kelangsungannya.
Kepala Riset dan Pengembangan (R&D) Toyota, Masatami Takimoto, membuktikan dengan pasti dilema itu, menyebutkan bahwa target 130 gr/km adalah sebuah rintangan yang sangat tinggi.
“Seandainya Anda mengabaikan sisi bisnisnya dan meng-hybrid-kan semua mobil, yah, itu bisa jadi memungkinkan,” katanya.
“Pada kenyataannya, sekarang ini kita belum punya ide bagaimana dapat mencapai ke sana.”
Di Eropa, Prius baru tampaknya dihargai sekurang-kurangnya 9,000 euro (Rp 138 juta) lebih dari Insight, yang oleh Honda ditetapkan harga di bawah 20.000 euro (sekitar Rp 308 juta, kurs Rp 15.400).
Memasuki era Listrik
Pada saat yang sama beberapa pabrik pembuat mobil sedang menarik perhatian atas ambisi mereka untuk menyadarkan kembali akan mobil listrik yang menghasilkan emisi nol namum masih terhalang dengan mahalnya baterai.
Mitsubishi Motor adalah satu-satunya pabrik pembuat mobil dengan purwa rupa karyanya berupa sebuah mobil listrik yang relatif kuat, dikatakan minggu ini akan memasok mobil listrik di bawah merek Peugeot mulai tahun depan. Mitsubishi sendiri juga akan mulai mengekspor mobil listrik i MiEV-nya dari Jepang pada 2010.
Nissan Motor mengatakan pada hari yang sama ia mempunyai persetujuan dengan pemerintah Portugal untuk mempertimbangkan pendirian pabrik baterai lithium-ion di Portugal untuk membidik pasar kendaraan listrik yang besar di Eropa dan dipasarkan secara global pada 2012.
Renault yang merupakan partner Nissan sedang berancang-ancang untuk meluncurkan empat mobil listriknya antara awal 2011 dan awal 2012.
Bahkan Tata Motor India, yang masih belum mempunyai jaringan penjualan yang luas di Eropa, memamerkan mobil listriknya Indica Vista EV yang masih dalam tahap pengembangan.
Setahap demi Setahap
Sampai biaya diesel yang bersih, full hybrid dan mobil listrik menurun, pabrik pembuat mobil mengandalkan produksinya pada teknologi yang murah, sederhana yang masih terjangkau.
Fiat SpA mengungkapkan sebuah mesin katup sistem baru yang mengatur aliran udara selama siklus pembakaran untuk mengurangi pemakaian bahan bakar dan emisi CO2 sampai 10 persen.
Sementara itu Mazda, berencana untuk memotong emisi CO2 dari mobil-mobil Eropanya sampai 30 persen pada tahun 2015 dengan cara mengurangi berat kendaraan, memperbaiki aerodinamik dan memasang suatu sistem “top-and-go” yang secara otomatis mematikan mesin ketika mobil dalam keadaan istirahat.
Daimler sedang merencanakan model baru (blanket rollout) dari fitur tetapnya di Eropa, sementara Hyundai Motor dan KIA Motor juga mengungkapkan mobil yang menggunakan teknologi yang sama.
Jack Short, Sekretaris Jenderal Forum Transportasi Internasional (ITF = International Transport Forum) mengatakan itu adalah jenis teknologi yang tepat yang dapat memberikan penghematan bahan bakar yang lebih baik tanpa merugikan sisi bisnisnya.
“Kami tidak mempertaruhkan semuanya pada listrik di masa depan,” katanya pada Reuters saat pameran tersebut.
ITF, bersama dengan tiga lembaga internasional yang lain termasuk Program Lingkungan PBB melontarkan sebuah inisiatif untuk mengurangi pemakaian bahan bakar sampai 2050. (Epochtimes.co.id/pls)