Dahulu kala ada seorang gadis kecil, namanya Yang Bao, ia sangat menyukai makhluk kecil, setiap saat bertemu dengan anjing atau kucing di luar yang dicampakkan orang, ia pasti dengan perasaan sedih akan memeluk dan membawanya pulang, merawat dan mengobati luka mereka, atau memberi makan mereka agar gemuk, dan merawat mereka dengan teliti. Ayahnya Yang Bao adalah seorang pedagang, tapi selalu tidak begitu menguntungkan, kesehatan ibu juga tidak begitu baik, meskipun begitu mereka tidak pernah mencela Yang Bao telah merepotkan atau membebani keluarga, selalu membiarkannya membawa pulang makhluk-makhluk kecil, merawatnya dengan sepenuh hati.
Pada hari ini, ayah Yang Bao membawanya pergi bersama ke kota untuk membeli barang. Sepanjang jalan, kedua ayah dan anak ini melewati padang belantara melintasi jembatan, ketika mereka melintasi sebidang hutan, tiba-tiba sayup-sayup terdengar suara kicauan burung yang tersengal-sengal, Yang Bao merasa suara cit… cit… itu sangat memilukan, lalu berkata pada ayahnya: “Ayah, coba dengar! Di sekitar sini sepertinya ada burung yang sedang bercicit (menangis).”
Dengan tersenyum ayahnya menjawab: “Di dalam hutan, ada suara kicauan burung itu jamak, kamu jangan berpikir yang bukan-bukan. Ayo… kita segera ke kota untuk membeli barang, jika masih ada waktu, ayah akan membelikan pakaian baru untukmu atau membeli beberapa makanan enak, ayo… cepatlah!”
Di saat itu, suara kicauan “cit… cit…” semakin terengah-engah, dengan cepat Yang Bao menarik pakaian ayahnya, dan dengan sedih mengatakan: “Ayah, kali ini kamu jelas mendengarnya bukan? Burung ini pasti mengalami luka yang sangat parah, dan perlu bantuan kita. Saya tidak mau pakaian baru dan makanan yang enak, hanya mohon padamu untuk berhenti sejenak, menolong burung itu, tidak keberatan bukan?”
Ayah mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju, lalu dengan mengikuti suara kicauan burung, dan setelah berusaha mencarinya beberapa saat lamanya di semak-semak dan cabang pohon. Akhirnya, di bawah sebatang dahan rendah, mereka menemukan burung yang luka itu. Sayap di sebelah batu itu telah patah, dadanya juga robek, bulu-bulunya yang kuning menjadi merah oleh genangan darah! Bola matanya yang hitam pekat……………, persis seperti meneteskan air mata karena saking pedihnya.
Ayah menggeleng-gelengkan kepala, dan sebuah tarikan napas panjang berkata: “Wah! Begitu parah lukanya, mungkin tidak tertolong lagi, lebih baik kita pergi saja! Jika tidak segera pergi juga, maka tidak akan keburu lagi ke pasar!”
Hampir saja Yang Bao menangis, ia mengatakan: “Ayah mohon Anda tunggu sejenak, saya akan mencari daun-daunan (obat) di sekitar sini yang bisa digunakan untuk menghentikan darah, siapa tahu mungkin masih bisa menyelamatkan burung itu!”
Ayahnya Yang Bao benar-benar tidak tega menolaknya, lantas menepuk-nepuk bahunya dan mengatakan: “Baiklah.” Yang Bao segera menerobos masuk ke semak belukar dan mencari ke sana kemari, setelah menemukan daun-daunan lalu Yang Bao mengunyah hancur daunan, kemudian ditempelkan ke dada , dan dalam sekejap darah itu berhenti. Ayah menyambung kembali sayap yang patah, lalu membetulkan letak sayapnya dengan dahan pohon. Dengan memanjatkan syukur Yang Bao berkata: “Terima kasih, ayah! Kita masukkan burung ini ke dalam sangkar, kita bawa pulang dan merawatnya baik-baik, sekarang marilah kita segera berangkat.”
Ayah dan anak itu segera berangkat ke kota, namun waktu telah menjelang senja, para pedagang kios di pasar telah bubar, terpaksa dengan perasaan kecewa Yang Bao dan ayahnya pulang ke rumah.
Melihat mereka tidak membawa barang-barang, ibu merasa aneh, dengan perasaan tidak tenang Yang Bao menceritakan peristiwa yang terjadi. Dengan tersenyum arif sang ibu membelai-belai kepala Yang Bao dan berkata: “Meskipun usiamu masih begitu belia, tapi penuh perhatian, saya dan ayah merasa sangat gembira!”
Hari-hari berikutnya, Yang Bao merawat burung itu dengan telaten setiap hari. Ia menyediakan sebuah sangkar kayu untuk burung itu, di dalam sangkar tersebut dipenuhi dengan rumput yang lembut, supaya burung itu dapat berbaring di atasnya dengan nyaman. Ia memberi makan burung itu dengan beras yang dihaluskan atau memberinya makan serangga kecil, dan terkadang secara khusus memetik sejumlah bunga sebagai makanan tambahan untuk burung itu.
Sayap yang patah dan luka di dadanya itu berangsur-angsur mulai membaik, bulu kuning yang halus lembut itu memancarkan kilau cahaya yang elok licin, matanya juga memancarkan kecemerlangan seperti gemerlapan bintang. Anak-anak tetanganya pada kagum sambil mengatakan: “Burung ini begitu elok, betapa beruntungnya seandainya ini milikku!”
Suatu hari, Yang Bao menggantung sangkar kayu burung itu di depan rumah, agar burung itu bisa berjemur matahari. Tiba-tiba, tidak tahu dari mana datangnya sekelompok burung terbang berdatangan, ada burung kukuk, burung layang-layang, burung kepodang dan burung ketilang dll. Mereka bagaikan segumpalan mega yang berwarna-warni, bertengger di atas sebatang pohon tua di depan rumah, bercicit nyaring pada burung , dan burung itu menjulurkan lehernya mulai berkicau (nyanyi) di hadapan mereka.
Melihat pemandangan ini, Yang Bao tahu persis bahwa rekan-rekan burung itu datang menyuruhnya pulang, dan setelah direnungkan sejenak, lalu Yang Bao membuka pintu sangkar itu. Namun tak disangka, begitu burung itu keluar dari pintu sangkar, ia tidak segera terbang berlalu, bahkan dengan bulunya yang lembut mengelus perlahan wajah Yang Bao. Yang Bao membelai-belai burung itu dan dengan perlahan berkata: “Terbanglah mungil! Teman-teman pada menunggumu!”
Burung itu mengangguk-anggukkan kepalanya seakan-akan mengerti apa yang dikatakan Yang Bao, ia mengepak-ngepakkan sayapnya, dan akhirnya terbang ke langit yang jauh bersama dengan sekelompok burung itu. Meskipun Yang Bao merasa berat melepaskannya, namun ia tahu akhirnya mungil itu bisa terbang bebas di angkasa luas bersama dengan rekan-rekannya, dan jauh di dalam lubuk hatinya, ia juga merasa bahagia atas kegembiraan mungil itu.
Malam hari itu, Yang Bao terus merindukan burung itu, dan dengan susah payah akhirnya baru bisa tertidur. Di tengah keremangan tidurnya, seorang bocah laki-laki yang berpakaian kuning menghampiri Yang Bao. Raut wajah bocah laki-laki sangat rupawan, sepasang matanya yang hitam terang itu bersinar cerah. Tangannya menggenggam 3 buah giok putih yang terang berkilauan, dan setelah memberi hormat pada Yang Bao lalu berkata: “Saya adalah burung mungil itu, waktu itu karena tidak hati-hati, dada saya luka dipanah oleh anak-anak yang nakal, jatuh dari atas pohon dan malang sayap saya juga patah, untung saja kalian sekeluarga telah menyelamatkan saya. Sekarang saya datang untuk mengucapkan terima kasih, ke-3 gelang giok putih yang ajaib ini, dihadiahkan pada kalian sekeluarga untuk dikenakan, semoga gelang giok ini membawa berkah kesejahteraan untuk kalian sekeluarga.
Yang Bao menerima gelang giok itu, dan dalam sekejap si bocah laki-laki yang berbusana kuning itu lenyap tak berbekas. Dengan rasa terkejut Yang Bao siuman dari tidurnya, dan baru menyadari bahwa semua itu hanya sebuah mimpi. Di saat itu, fajar juga telah menyingsing, dan Yang Bao mendapati ternyata di tangannya benar-benar telah menggenggam 3 buah gelang giok putih yang halus dan licin!
Dan anehnya, sejak itu usaha dagang ayah Yang Bao dari hari ke hari semakin lancar, ibu yang sakit-sakitan juga mulai sehat kembali. Kemudian, Yang Bao tumbuh dewasa, dan setelah tumbuh dewasa, Yang Bao tetap masih seperti di waktu kecil yaitu penuh dengan cinta kasih dan perhatian, baik itu terhadap sesama atau makhluk kecil. (erabaru.or.id)*