Setiap warga Surabaya pasti mengenal gerbang kya-kya, tempat yang dikenal sebagai kawasan kya-kya kembang jepun. Gerbang yang dijadikan “tetenger” bagi siapa saja yang memasuki kawasan pecinan kota Surabaya ini.
Dari gerbang itu juga dapat kita ketahui bahwasanya masyarakat Tionghoa telah menjadi bagian dari masyarakat Surabaya. Bukan hanya pada masa moderen ini namun keberadaan masyarakat Tionghoa Indonesia di Surabaya khususnya bukan suatu masa yang pendek. Mereka telah berada dan tumbuh bersama di bumi nusantara ini dalam masa yang panjang, bahkan terhitung dalam bilangan abad.
Budaya masyarakat Tionghoa telah mewarnai corak budaya bangsa ini. Kita coba ambil sebuah contoh yang paling mudah dari segi kuliner, panganan tahu yang terbuat dari kedelai. Yang membawa adalah orang Tionghoa yang merantau ke Indonesia. Makanan yang berbentuk mie, kue-kue, dan masih banyak lagi.
Atau budaya suatu suku atau daerah, sebut saja gambang kromong dari Betawi. Tak diragukan lagi budaya itu terlahir merupakan turunan dari budaya Tionghoa. Ini dapat dilihat dari beberapa alat musik dan tariannya.
Saat ini pada era reformasi, budaya Tionghoa yang sempat tidak dapat berkembang pada masa era orde baru, telah dapat kembali diterima dikalangan masyarakat dan menunjukkan eksistensinya. Dengan disejajarkannya budaya Tionghoa sebagai salah satu budaya di Indonesia.
Namun bagaimanapun selama pelarangan di era orde baru tersebut membawa dampak, antara lain banyak orang-orang Tionghoa tidak lagi melakukan adat-istiadat yang dilakukan oleh leluhur mereka.
Pergeseran Tradisi Saat Orde Baru
Bincang - Bincang Dengan Freddy H. Istanto,Iai,Ir.,Mt.Ars. Dekan Fakultas Teknologi Dan Desain Universitas Ciputra
Sebagai salah satu dari tiga pencipta gerbang kya-kya, Freddy Handoko Istanto saat ditemui oleh Epochtimes di kediamannya Manyar Tirto Asri ingin berbagi cerita mengenai budaya Tionghoa dahulu dan saat ini. Terutama yang berkaitan dengan perayaan Imlek dan Cap Go Meh.
Sebagai seorang etnis Tionghoa, Freddy juga merasakan arti khusus Imlek dan Cap Go Meh. Namun rasa itu baru saja sekitar 3 – 4 tahun belakangan. Pada saat budaya Tionghoa diperbolehkan kembali untuk dilaksanakan dan dirayakan. Seperti munculnya kembali kesenian barongsai, merayakan Imlek, Cap Go Meh, belajar bahasa Mandarin dan sebagainya.
“Masyarakat Tionghoa merayakan Imlek dengan sebagai tahun baru layaknya. Tetapi ada juga dikaitkan dengan agama.” Ungkap Freddy yang asli kelahiran Surabaya 52 tahun yang lalu.
Namun hanya sebagian kecil dari masyarakat tersebut yang masih memegang tradisi nenek moyang mereka dalam memaknai Imlek seperti saat dibawa dari daratan Tiongkok. Dan sebagian lagi telah tergerus oleh kebudayaan moderen. Hal ini merupakan salah satu dari penyebab pemerintahan orde baru selama 32 tahun. Membuat adanya generasi yang hilang untuk dapat memperlakukan tradisi Tiongkok dengan baik.
“…..Ada banyak budaya Tionghoa yang tergerus pada saat 32 tahun orde baru. Waktu itu membuat pergeseran budaya yang luar biasa. Hingga rekan etnis Tionghoa yang semula memiliki agama Konghuchu dan yang lain, bergeser ke agama Kristen, Katholik, bahkan Islam. Disinilah terjadi pergeseran hanya sedikit lapisan masyarakat Tionghoa yang masih merayakan sesuai dengan tradisi sebenarnya.” Ungkap dekan Fakultas Teknologi dan Desain Universitas Ciputra ini.
Dan lapisan kecil itu hanya berkisar 25%, yang kebanyakan adalah generasi tua. Sedangkan untuk generasi mudanya menyesuaikan kiprahnya, merayakan Imlek disesuaikan dengan agamanya masing-masing. Yang menganut agama Katholik merayakan Imlek, yang Islam juga merayakan Imlek dengan tatacara ibadahnya masing-masing.
“Ini yang menarik menurut saya ada suatu perpaduan, ada sebuah kemajuan zaman yang membuat Imlek tidak seperti tradisi aslinya.”
Yang paling menonjol kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah Tionghoa Holand Spreekens, Tionghoa Peranakan dan Tionghoa Totok. Pada kelompok pertama adalah mereka yang ke-Belandaan pengaruh dari penjajahan Belanda, kelompok kedua adalah mereka yang sudah melebur dengan masyarakat asli dan yang terakhir adalah kelompok yang masih berkiblat ke Tiongkok.
“Perpaduan inilah yang menjadikan suatu segmentasi yang menarik, karena mereka yang masih berkiblat ke Tiongkok biasanya tradisi itu masih kuat, berbahasa mandarin (atau bahasa-bahasa daerah, canton, hokkian dan sebagainya), sedangkan dua kelompok lain mereka tidak menggunakan bahasa mandarin bahkan mereka tidak bisa sama sekali. Inilah yang menjalankan tradisi Imlek tidak secara ketat.” Ujar pria yang menyukai barang kuno dan antik ini.
Tradisi Dalam Kenangan
Freddy adalah seorang etnis Tionghoa yang lebih banyak terpengaruh dan dekat dengan budaya Jawa. Kedua orangtua beliau sangat dekat dengan kejawen sehingga ketika orde baru secara konsisten melarang media, yayasan, organisasi, dan budaya Tionghoa dilarang di Indonesia, pergeseran tersebut tidak terlalu mengagetkan keluarga beliau.
“Secara perlahan-lahan kami masuk ke budaya Jawa dengan lebih smoot dan ketika tradisi itu hilang tidak hanya kenangan sepintas terbersit dipikiran. Namun ini berbeda dengan teman-teman etnis Tionghoa yang masih ketat menjalankan tradisi. Saya membaca ada kepedihan dalam hati mereka. Dapat dibayangkan bila sebuah tradisi itu harus hilang. Ini suatu hal yang mengerikan bahkan namapun harus diganti. Mereka harus kehilangan marganya, dan nama dalam 3 suku kata itu harus hilang. Ini yang menurut saya pada saat ini mulai di cairkan dan mereka dapat banyak berkiprah di berbagai bidang, bahkan dalam dunia politik. Ini adalah kemajuan yang luar biasa.” Ungkap bapak yang kedua putra-putri nya telah dewasa dan studi di luar negeri.
Dengan munculnya banyak tokoh etnis Tionghoa ini merupakan suatu perwujudan kedua belah pihak mengakui peleburan semakin nyata, sehingga dedikasi, sumbangsih dan semangat “ketika bumi dipijak langit dijunjung” sedang dilakukan secara total.
“Bahwa etnis Tionghoa memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan anggota masyarakat yang lainnya. Kerinduan itu ada mengapa kami (orang Tionghoa) mesti di bedakan. Karena ketika kami lahir di sini (Indonesia) ya inilah Negara kami. Dan ketika kami dibedakan itu agak sakit. Dan saat peluang-peluang ini sudah dibuka, saya juga menghimbau kepada seluruh orang Tionghoa untuk dapat memanfaatkan hal ini dengan sebaik-baiknya. Dengan mewujudkan semua kelebihan potensi, akal-pikiran, intelektual menjadi bagian kemajuan bangsa. Ketika semua elemen bangsa disatukan, saya yakin bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar.” Himbau Freddy yang saat ini sedang menulis sebuah buku tentang etnis Tionghoa.
Masyarakat Tionghoa khususnya di Surabaya yang diperkirakan berjumlah 600.000 jiwa (5% dari jumlah penduduk Surabaya yang berjumlah 3.000.000 jiwa) secara tepat tidak dapat diperkirakan karena dengan adanya etnis Tionghoa yang telah melebur dan dari generasi ke generasi di kota Surabaya. Bagaimana kita dapat membedakannya secara tepat?
Memang suatu hal yang ironi dan menyedihkan jika ada yang masih mengolok-olok dan membedakan seolah-olah bukan bagian dari masyarakat yang ada. Adanya istilah pribumi dan non-pribumi.
“Karena saya sejak kecil dekat dengan budaya Jawa maka saya tidak terlalu merasakan. Pembedaan itu memang ada, jika ada yang mengolok-olok saya……eh Chino….Chino ya sudah saya berantem. Tapi saya tidak merasakan ada perbedaan pada saat saya tidak boleh merayakan Imlek. Tidak saya sadari karena ibu saya, jika ada acara selamatan di kampong ya ikut, tapi justru pada saat silahturahmi untuk imlekan tidak kami lakukan. Itu sudah biasa jadi kami tidak lakukan, justru sekarang saya merasa terkaget-kaget…….Ooo ternyata budaya Tionghoa sangat menarik dan saya harus pelajari. Ada banyak mengandung filsafah-filsafah yang tidak saya tahu, bahwa bangsa apapun itu membawa kearifan tersendiri. Dan lucunya setelah saya membuat gerbang kawasan pecinan kya-kya kembang jepun, menjadi bagian yang harus menjadi narasumber apapun. Jadi saya baca tentang fengshui, pecinan, arsitektur Tionghoa. Saya di Surabaya Heritage memberikan penghargaan pada rumah-rumah bergaya etnis Tionghoa yang apik. Dan saya juga memberikan 100 pusaka Surabaya. Baik untuk makanan, bangunan, sikap-sikap……seperti lagu rek ayo rek yang dinyanyikan Mus Mulyadi.” Kenang Vice Chairman Surabaya Heritage tersebut.
Ada suatu kenangan pada masa kecil yang dahulu mungkin tidak terlalu diperhatikan. Namun saat ini setelah beliau banyak mempelajari sejarah budaya Tionghoa adalah tradisi Imlek yang sebenarnya memiliki makna yang mendalam, sebuah tradisi berkumpul keluarga, membersihkan diri, sembahyang leluhur ke kelenteng, bukan sekedar tradisi barongsai, angpao, berhias merah-merah apalagi pesta yang berfoya-foya.
“Imlek itu perayaan ke dalam pribadi kita, seperti berkumpul keluarga, sembahyang leluhur dan sebagainya sedangkan perayaan cap go meh adalah perayaan ke luar. Sewaktu dulu pada saat perayaan cap go meh di kota-kota kecil seperti di Jombang saya masih melihat arakan naga berkeliling kota. Lalu para orang yang kaya atau mampu memasukan uang di amplop angpao dan meletakannya di suatu tempat yang sulit dijangkau, sehingga naga ini akan berakrobat untuk mengambilnya. Ini atraksi yang menarik. Namun hanya beberapa kali saja kemudian menghilang. Yang lebih membahagiakan lagi saat harus berkunjung ke family-famili dan kami mendapat angpao. Kemudian kami mengenal mereka juga sekaligus panggilannya. Misalnya ini generasi bapak saya memanggilnya apa? Karena dalam tradisi Tionghoa sangat ketat untuk masalah grade seperti itu. Tapi setelah itu, (tidak merayakan), totali saya kehilangan itu semua. Ada yang hilang saat tidak merayakannya lagi….” Kembali Freddy mengenang.
Sangat menyenangkan berbincang tentang budaya Tradisional Tiongkok dengan Freddy Handoko Istanto, beliau salah satu yang mewakili etnis Tionghoa terutama di Surabaya yang ingin melestarikan berbagai bentuk budaya Tiongkok sebagai salah satu bentuk sumber kekayaan budaya bangsa Indonesia. (Epochtimes/amel-oscar)