Sebagai manusia apalagi perempuan, pernikahan adalah sebagai impian ataupun kodrat yang ingin dijalani. Sedangkan untuk diri saya mungkin agak sedikit berbeda dalam memandang arti pernikahan. Bagi saya pernikahan adalah suatu hal yang sakral, yang perlu kesiapan mental dan batin untuk menjalani, bukan sekedar cinta dan kebutuhan yang menggebu, kebutuhan menutup rasa malu dibilang perawan tua, kebutuhan seorang anak untuk merawat saat usia telah senja, kebutuhan teman hidup dari ketakutan dalam kesendirian, ataupun kebutuhan suami demi bersandar hidup karena tak mampu menafkahi diri sendiri dsb. Karena cara pandang inilah yang membuat saya selalu berusaha menghindar saat pacar atau teman yang berusaha menjalin hubungan lebih serius dan mengharap keseriusan saya untuk berkomitmen dengannya.
Meski punya cara pandang yang berbeda, ada saatnya saya goyah saat menghadapi sapaan teman, keluarga apalagi orang tua, tentang kapan saya akan menikah. Di usia yang makin bertambah, saat datang ajakan dari mantan pacar untuk menjadi istri kedua, menjadi dilema bagi saya. Satu sisi saya ingin membahagiakan mantan pacar yang, menurut pengakuannya, tidak mandapatkan kebahagiaan dalam rumah tangganya. Di satu sisi adalah pantangan buat saya menjadi madu dari istri pertamanya, meskipun dalam agama saya mengijinkan untuk berpoligami.
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, serasa saya dikejar waktu untuk memberikan keputusan untuk menerima pinangannya atau tidak. Batin ini serasa menangis tidak tahu harus bagaimana, terbayang bagaimana rasa sakit hati istrinya setiap hari harus berbagi suami dengan perempuan lain, sementara dia tidak dapat bertindak apa-apa kecuali mengiyakan keinginan suaminya untuk menikah lagi.
Dalam kegalauan hati ini, beruntung saya membaca buku ajaran moralitas Zhuan Falun. Dari buku itu saya bersyukur telah mengetahui sebuah prinsip tentang kehidupan yang sejati. Prinsip tentang bagaimana terjadinya karma/dosa dan bagaimana kompensasinya bagi pelakunya, semua saya pahami dari buku itu, bukan hanya sebatas dosa, pahala, surga dan neraka, seperti yang saya pahami selama ini.
Saya seperti tersadar bahwa kebahagiaan mantan pacar adalah bukan tanggung jawab saya sebagai orang lain, meski saya berdalih atas nama cinta sekalipun. Apapun yang terjadi dalam sebuah hubungan/kehidupan seseorang adalah akibat diri sendiri yang tidak dapat berbuat dan bersikap sesuai kebeneran sejati, sehingga menyebabkan ketidakbahagiaan, penyakit, ataupun penderitaan dalam bentuk lain. Seharusnya si pelaku itu sendiri yang introspeksi ke dalam diri sendiri untuk mengetahui akar penyebab ketidak bahagiannya, bukan mencari pembenaran diri, menyalahkan orang lain, apalagi mencari solusi keluar, yang menurutnnya adalah sah-sah saja demi kepentingan pribandinya dalam usahanya membahagiakan diri sendiri. Lantas bagaimana dengan istrinya,Tidak berhakkah dia untuk bahagia ?
Dari buku ini pula saya mengetahui tentang karma/dosa yang menumpuk pada diri saya, seandainya saya tetap bersikukuh mau menikah dengannya yang jelas-jelas sudah beristri. Di dalam buku tersebut dikatakan bahwa kalau seseorang melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan, baik fisik ataupun batin, pada orang lain, dan semakin berat/besar penderitaan tersebut, maka makin besar pula dosa yang harus disandang. Dan saya tak bisa membayangkan penderitaan yang harus saya tebus dalam sisa hidup saya, dan bahkan di kehidupan mendatang saya atas perbuatan yang saya lakukan.
Saya menjadi sadar bahwa meskipun istrinya menyatakan sanggup dimadu alias merelakan suaminya menikah lagi dengan saya, tapi saya yakin jauh dilubuk hatinya akan terpendam penderiaan hati akibat perbuatan suami, dan saya sebagai istri keduanya.B elum lagi penderitaan dari anak-anaknya Meskipun mulutnya mengatakan ikhlas, tapi benar-benarkah mereka ikhlas? Hanya mereka, ibu dan anak, yang tahu.
Saya benar-benar bersyukur telah memahami makna Sejati-Baik-Sabar yang sesungguhnya, yang membuat saya sampai detik ini mampu memahami arti kehidupan, dan mampu mensyukuri setiap derita yang mendera dengan keikhlasan yang baru, seolah saya hidup kembali dari keputusasaan saya yang dulu. Saya jadi tahu arti bersyukur yang sesungguhnya.