Beberapa hari yang lalu saya telah menulis sebuah artikel pendek berjudul “Orang budiman harum bagaikan anggrek”. Dalam artikel ini membicarakan bahwa moral seorang yang budiman, harum bagaikan bunga anggrek. Dimana pun dia berada, keharumannya akan menyenangkan orang.
Dalam artikel itu saya membicarakan juga bahwa cahaya welas asih yang dikeluarkan oleh seorang kultivator bagaikan bunga anggrek yang bermekaran dalam lembah, keharumannya semerbak masuk ke dalam lubuk hati manusia. Hal itu telah mengundang beberapa anak muda bertanya kepada saya, “Bagaimana dapat melepaskan keharuman dalam jiwa.”
Sebenarnya jika kita mengumpamakan jiwa kita dengan segelintir daun teh yang memendam keharuman, maka kultivasi dalam kehidupan bisa diumpamakan sebagai seteko air yang mendidih, di mana daun teh hanya bisa timbul dan tenggelam dalam air yang mendidih, dan setelah direndam beberapa waktu dan beberapa kali baru bisa mengeluarkan aromanya yang harum.
Dalam kultivasinya, manusia harus melakukan perbuatan baik, mematut diri dengan baik, baru bisa meningkatkan taraf batin dirinya sendiri, bersamaan dengan itu ia akan meninggalkan sepoi-sepoi keharuman bagi orang lain.
Pepatah mengatakan, “Ketajaman pedang berasal dari asahan, harumnya bunga Mei berasal dari musim dingin yang menusuk tulang.”
Ketika semua bunga berguguran dan layu di musim dingin, hanya bunga Mei yang mekar di udara yang sangat dingin, dalam es dan salju. Semerbak harumnya bunga Mei itu dilahirkan dan dihasilkan oleh angin kencang yang sangat dingin dan dalam badai es dan salju. Hanya dengan mengalami terpaan angin dan badai baru bisa melahirkan dan mengeluarkan keharuman yang benar-benar harum.
Orang pada umumnya hanya bisa tak henti-hentinya mengagumi, sama sekali tidak menyadari bahwa di belakang keharuman, dan hasil yang besar ini terkandung berapa banyak penderitaan dan kesulitan. Keharuman ini keluar setelah mengalami terpaan angin dan badai, setelah mengalami musim yang sangat dingin.
Dahulu kala ada seorang pemuda yang telah berkali-kali mengalami kegagalan, dia kagum akan kemasyuran biksu agung Shi Yuan lalu pergi ke kuil mencari biksu agung ini.
Dengan putus asa dia berkata kepada biksu Shi Yuan, “Saya selalu gagal dalam usaha, hidup juga asal hidup saja, lalu apa gunanya?”
Setelah mendengarkan kata-kata ini diam-diam sang biksu mengeluarkan sebungkus daun teh. Kemudian dia memanggil seorang biksu kecil, “Penderma ini datang dari tempat yang jauh, tolong segera masakkan sepoci air hangat dan hantarkan kemari.”
Tidak lama kemudian, biksu kecil telah menghantarkan sepoci air hangat, Shi Yuan lalu menggenggam daun teh dimasukkan ke dalam cangkir, kemudian dia menyedu teh itu dengan air hangat lalu disodorkan ke depan pemuda itu dan berkata, “Penderma, silahkan minum teh.”
Setelah meneguk dua teguk pemuda itu menggeleng-gelengkan kepala dan berkata, “Teh apa ini? Sama sekali tidak ada aroma tehnya.”
Shi Yuan menjawab sambil tertawa, “Itu adalah teh ternama, mengapa bisa tidak harum?”
Shi Yuan memanggil kembali si biksu kecil lagi, “Tolong masakkan lagi sepoci air yang mendidih dan hantarkan kemari.”
Setelah air yang telah mendidih itu datang, Shi Yuan mengeluarkan cangkir baru, mengambil daun teh dan dimasukkan ke dalam cangkir, menuangkan sedikit air mendidih ke dalam cangkir.
Nampak oleh pemuda ini daun-daun teh tersebut timbul dan tenggelam dalam cangkir, sebersit keharuman yang halus merebak keluar dengan diam-diam. Pemuda itu tak tertahankan hendak mengambil cangkir itu.
Shi Yuan tersenyum dan berkata, “Tunggulah sebentar penderma.” Sambil berkata dia menuangkan lagi sedikit air mendidih ke dalam cangkir, beserta dengan itu segumpal harum teh yang memabukkan perlahan-lahan merebak memenuhi seluruh ruangan meditasi.
Demikianlah Shi Yuan menuangkan air mendidih ke dalam cangkir sebanyak lima kali, aroma harum dari secangkir teh itu semerbak memenuhi ruangan.
Dengan tertawa Shi Yuan bertanya kepada pemuda itu, “Apakah penderma tahu teh dengan merek yang sama mengapa rasanya berbeda?”
Pemuda itu berpikir sejenak lalu berkata, “Satu cangkir diseduh dengan air hangat, dan satu cangkir diseduh dengan air mendidih.”
Shi Yuan tertawa-tawa dan berkata, “Penggunaan air yang berbeda, rasa tehnya juga berbeda. Teh yang diseduh dengan air hangat daun tehnya akan mengambang di atas air, mana bisa mengeluarkan aromanya? Dan teh yang diseduh dengan air mendidih, diseduh berkali-kali daun-daun tehnya bergolak timbul dan tenggelam, lalu mengeluarkan keharuman setelah hujan di musim semi, kehangatan bagai mentari di musim panas, pekat bagai angin di musim gugur dan jernih bagaikan embun beku di musim dingin.”
Seseorang yang tidak memahami kultivasi, sama seperti daun-daun teh yang diseduh dengan air hangat, selamanya tidak akan mengeluarkan aroma harum yang merebak ke dalam hati orang lain. Tidak ada semangat kesabaran dan pengasahan dalam hati, tidak akan mengeluarkan pancaran sinar kehidupan yang dimiliki oleh setiap insan.
Dengan kultivasi baru dapat pulang ke asal kembali ke jati diri, mengeluarkan bau keharuman jiwa. (The Epoch Times/lin)