Dalam masyarakat realitas ini, seseorang yang berumur setengah baya jika belum juga mengerti bagaimana untuk memandang hambar berbagai nafsu keinginan, maka hal-hal yang tidak berkenan di hati kian hari kian bertambah datang menghampiri. Baru-baru ini aku reuni dengan beberapa teman sekelas dahulu di SD dan SMP. Meski mereka baru berumur 40an, kebanyakan dari mereka telah kehilangan rambut dan sebagian bahkan telah ubanan. Sulit dipercaya bahwa mereka adalah seusia denganku. Aku tanya mereka apa yang telah terjadi. Mereka semua berkata bahwa tekanan-tekanan hidup dan pekerjaan sepanjang waktu telah membebani usia mereka.
Mereka bertanya kepadaku bagaimana aku mengaturnya sehingga tetap memiliki kesehatan yang baik sedemikian rupa. Aku menjawab, "Sekali seseorang memandang hambar pada ketenaran, keuntungan dan nafsu keinginan, ia segera akan memiliki perasaan yang terbebaskan. Bagi orang yang berniat menjalani kultivasi, hal pertama yang harus dilakukan ialah mengeliminir nafsu keinginan dan membersihkan pikirannya." Jika kita memperhatikan dunia ini dengan tenang, kita akan melihat setiap orang itu sibuk sepanjang hidup mereka, tetapi sesungguhnya untuk apa? Kapan baru dapat melupakan semua ini agar tidak lagi mengejar berbagai hal dengan susah payah ? Aku pikir kata mutiara dari pujangga Su Dongpo betul-betul telah menampilkan kondisi hati yang dimaksud. " Aku selalu menyayangkan bahwa tubuh ini bukanlah milikku, sampai kapan aku berhenti menikmatinya demi kepentingan sendiri?"
Itulah kata-kata puitis Su Dongpo dari sebuah sajak berjudul "Orang suci yang berada di tepi sungai" (Lin Jiang Xian). Teks asli dari sajak tersebut adalah sbb.:
Minum arak di malam hari membuat Dongpo mabuk tertidur, setelah bangun kembali minum hingga mabuk lagi.
Ketika pulang ke rumah tampaknya telah jam tiga menjelang subuh.
Pelayan cilikku tertidur lelap suara dengkurnya seperti guntur.
Pintu digedor-gedor tetapi tiada respon.
Maka aku berjalan ke sungai Yangtze dengan sebuah tongkat mendengarkan bunyi sungai yang mengalir.
Aku selalu menyayangkan bahwa tubuh ini bukanlah milikku,
Kapan aku akan berhenti menikmatinya demi kepentingan diri?
Malam menjadi semakin gelap, tiada tiupan angin.
Kurai-kurai di lembah gunung menjadi datar.
Aku akan menenangkan segalanya dan pergi dengan mengayuh perahu kecil ku,
Menggantungkan hari-hari ku kepada sungai dan laut.
Su Dongpo menulis puisi ini, ketika ia diturunkan jabatannya dan dimutasi ke kota Huangzhou sebagai wakil milisia. Ia tinggal di sana selama lima tahun. Selama berada di Huangzhou, Su Dongpo mengalami tekanan bathin yang membuatnya menderita, tetapi ia tidak patah semangat di tengah penderitaan. Puisi ini mencerminkan pikiran pengarangnya yang luas terbuka: yaitu mengabaikan ketenaran atau keuntungan, merindukan kebebasan dan ketenangan mental, lapang dada serta pikiran lurus. Dongpo patut disebut sebagai orang berbakat yang genius dengan watak yang tidak dapat dihalangi. "Malam menjadi semakin gelap, tiada tiupan angin, kurai-kurai di lembah gunung menjadi datar". Bait puisi tersebut melukiskan suatu pemandangan yang betapa tenang dan damai, pemandangan indah seperti ini perlu sebuah hati yang tenang dan bebas baru dapat merasakannya. Setelah sadar kembali dari mabuknya, Ia seolah terbangun dari sebuah mimpi, maka ia berkata, " Aku akan menenangkan segalanya dan pergi dengan mengayuh perahu kecil ku, menggantungkan hari-hariku kepada sungai dan laut." Ini adalah betapa terbuka pikirannya dan terbebas dari hal-hal duniawi! Mengayuh perahu kecil, bergerak mengikuti arus, mengarungi sungai dan laut, pergi kemana saja sesuai kehendak, menempatkan kehidupannya yang terbatas pada alam semesta yang tanpa batas – betapa indah nan alami. Dongpo telah terbebas dalam memandang kehormatan dan aib, ia sudah tidak lagi terikat dengan pengejaran-pengejaran duniawi. Dengan demikian pemikirannya mampu menjangkau sesuatu di luar langit dan bumi, sehingga tersusunlah bait-bait sajak yang sangat terkenal ini.
Sekarang telah melewati waktu ribuan tahun, dan kebanyakan orang masih saja mencari ketenaran dan keuntungan, jatuh bangun di dalam dunia ini, sibuk dalam mencari keuntungan materi sepanjang hidup mereka. Meski bagaimana kekayaan material di dunia ini sangat terbatas, sedangkan nafsu keinginan manusia terhadap kekayaan adalah tak terbatas. Semua orang juga tahu bahwa, "Seseorang yang mudah merasa puas diri, akan mudah pula menemukan kebahagiaan," tetapi amat sedikit yang benar-benar dapat memandang hambar terhadap ketenaran dan keuntungan di dalam hidupnya. Jika seseorang menginginkan kehidupan yang bahagia, satu kebijakan yang harus dijalani adalah melepaskan nafsu keinginan diri sendiri. Itulah yang terpenting. Memandang hambar pada ketenaran dan keuntungan bukan saja dapat memperpanjang usia, tetapi juga dapat memurnikan tubuh dan pikiran, membuat diri sendiri merasakan kebebasan dan keleluasaan yang sejati. .