Ketika saya masih seorang gadis kecil, saya sering jadi sasaran godaan, namun bukan sekedar godaan yang biasa dialami oleh anak-anak dan dan remaja pada umumnya.
Saya bersekolah di sebuah sekolah kecil yang terletak di sebuah lingkungan golongan kelas menengah ke atas di Ohio, AS. Keluarga saya tinggal di pinggiran kota di sebuah perkebunan kecil. Kami tidak sekaya keluarga-keluarga lain yang ada di daerah tersebut.
Sebuah sekolah dengan murid-murid yang setiap hari-nya memakai jeans, kaos T-shirt, dan kemeja polo produk perancang kenamaan. Namun saya sendiri hanya keluaran di toko-toko murah seperti K-Mart dan J.C. Penney.
Saya menunggu apabila ada obralan baru membeli barang, saya menyukai pakaian sederhana dan unik, serta berkeliling mengendarai mobil wagon kuno milik ibu saya. Tidak perlu dijelaskan, saya adalah murid baru dari kota Jersey.
Orang-orang memperolok-olok pakaian serta tatanan rambut saya. Anak laki-laki berpura-pura akan mengajak saya pergi keluar tetapi keesokan harinya memberi tahu saya bahwa semuanya itu hanyalah lelucon, membuat saya benar-benar merasa terhina. Pada kegiatan menari di sekolah, saya menari dengan sungguh-sungguh dan mereka tidak menyukainya. Kebanyakan teman sekelas saya lebih memilih berdiri di samping tembok.
Saya merasa begitu kecil. Dulu sepulang rumah saya akan menangis karena saya tidak mengerti mengapa anak-anak itu tidak menyukai saya.
Saya benci sekolah. Dan saya tidak tahan harus menunggu sampai saya bisa melepaskan diri, sampai saya pindah ke sebuah sekolah baru, atau lulus. Saya hanya mau pergi ke suatu tempat di mana orang mau menerima, mengenal, dan mencintai saya.
Akan tetapi mungkinkah kita melarikan diri?
Kita tidak akan dapat benar-benar melepaskan diri dari hal seperti ini bukan? Semua pengalaman tersebut terkubur di dalam hati saya dan di kemudian hari, ketika saya beranjak dewasa semua keluar menjadi sesuatu yang lain.
Untuk jangka waktu yang cukup lama, saya menjalankan hidup dengan cara berusaha menyenangkan orang lain. Saya hanya menginginkan orang lain menyukai saya. Saya berusaha sebisa mungkin untuk mencari tahu apa yang orang lain inginkan dan memberikan semua yang mampu saya berikan untuk mereka. Yang saya maksud bukanlah pemberian dalam bentuk barang. Yang saya maksud adalah berusaha untuk memberikan kesan ‘baik’ kepada orang lain dengan menjalankan kehidupan dan bersikap dalam batas-batas yang “pantas”.
Saya pikir kebanyakan dari kita juga berbuat demikian
Begitu banyak energi saya yang terkuras hanya untuk memikirkan apa yang orang lain inginkan, sehingga membuat saya tidak mengetahui apa sebenarnya yang saya inginkan. Saya hidup untuk orang lain agar mereka menyukai saya. Saya kehilangan jati diri saya sendiri.
Baru-baru ini saya membaca Traveling Mercies (Berkah-berkah Perjalanan Hidup) karangan Anne Lamott. Anne yang menceritakan tentang saat ia pergi berbelanja pakaian dengan teman terbaiknya, Pam, yang telah meninggal akibat penyakit kanker.
Anne mencoba pakaian yang sangat ia sukai, dan Pam mengatakan ia juga menyukainya. Anne kemudian menatap Pam dan berkata, “Apakah pakaian ini membuat pinggul saya terlihat terlalu besar?”
Pam menjawabnya, “Annie, kamu tidak punya waktu hanya untuk memikirkan hal semacam itu.”
Itu merupakan sebuah pernyataan yang sangat mengena di hati. Kita sering membuang-buang waktu kita pada begitu banyak hal yang tidak relevan. Ketika usia kita makin tua, kita baru sadar bahwa waktu jauh lebih singkat dari yang pernah kita bayangkan.
Delapan tahun yang lalu saya mengambil sebuah keputusan besar bagi diri saya, untuk mulai hidup sesuai dengan keinginan hati saya, dan mencari tahu siapa saja orang yang telah pergi dari saya.
Karena menyenangkan orang lain sudah tidak lagi menjadi prioritas utama saya, perubahan ini menciptakan banyak ketegangan di dalam hubungan saya dengan orang-orang dan telah membuang sebagian besar pengaman bawah sadar saya.
Itu adalah waktu di mana akhirnya saya dapat melakukan hal-hal yang telah tertunda terlalu lama. Saya dapat melepas beban seberat 12,5 kg yang telah saya panggul selama sekian tahun ini. Saya tinggalkan karier yang ada, dan pindah ke kota New York, sebuah tempat hidup yang selalu saya mimpikan, tanpa membawa apapun selain beberapa tas. Itu merupakan keputusan terbaik yang pernah saya buat.
Hidup merupakan sebuah perjalanan….
Langkah pertama itu telah menciptakan sejumlah gelombang besar, dan semuanya sepertinya baru terjadi kemarin. Bila ditinjau kembali, bagaimanapun juga, pada akhirnya itu adalah sebuah perjalanan.
Sebuah perjalanan yang mengungkapkan siapa saya yang ada dalam lubuk hati, dan dengan tantangan untuk belajar bagaimana cara mengekspresikannya serta siap menghadapi apa pun konsekuensinya. Tentu saja akan menjadi sangat menakutkan ketika benar-benar harus menghadapi konsekuensi-konsekuensi itu, tetapi mau tidak mau pada akhirnya Anda harus terjun ke dalamnya.
Kadangkala konsekuensi itu berarti seseorang tidak menyukai saya; kadang pula berarti harus cermat dengan uang saya agar dapat memperoleh apa yang saya inginkan, dan acapkali berarti sebuah kerja keras dan perencanaan yang matang.
Pada saat awal saya menciptakan bisnis masuk dalam perjalanan ini, untuk beberapa tahun, misi utama saya adalah untuk menunjukkan kepada orang lain bagaimana cara menjalankan hidup sesuai keinginan hati mereka dan bukan mengembangkan hidup mereka berdasarkan pada pemikiran orang lain. Dalam proses ini, saya membantu orang-orang belajar bagaimana cara mengekspresikan diri mereka sendiri tetapi juga harus tetap memperlakukan orang lain dengan hormat.
Baru-baru ini saya tersadar bagaimana pengalaman sewaktu kecil itu telah memberikan banyak sumbangsih kepada pekerjaan yang saya geluti sekarang ini dan untuk itu saya sangat berterima kasih.
Tidak Cukup Waktu….
Waktu sangat terbatas, tidak akan ada cukup waktu bila kita tidak segera membuka diri dan mempersembahkan pada dunia ini potensi yang ada dalam diri kita. Anda diberi anugerah untuk melakukan sesuatu. Anda diciptakan untuk mengutarakan isi hati Anda. Anda memahami apa yang ada dalam lubuk hati Anda! (Melissa King Jan/The Epoch Times/mer)