Makan bersama dengan teman-teman atau rekanan ada banyak bentuknya, tetapi saya masih lebih menyukai bentuk yang saling menyemangati dan berbicara dari hati ke hati, akhirnya setelah selesai makan, saat hendak berpisah, kita saling tersenyum mengerti, hati dipenuhi dengan perasaan senang dan damai, kita saling mengerti bahwa dalam kehidupan yang nyata ini kita sedang berusaha, kemudian memiliki lebih banyak dorongan tidak henti-hentinya untuk maju ke depan.
Tetapi ada semacam obrolan yang sangat tidak saya senangi, mengobrol tentang permasalahan benar dan salah, tentang gosip, tentang orang ini bagaimana dan orang itu bagaimana, walaupun di dalam kehidupan ini memang terdapat manusia, persoalan dan benda-benda yang menyebabkan pertikaian, walaupun setiap tahun selalu terdapat banyak sekali kekacauan yang berada di seputar kita.
Ada orang yang tidak sabar untuk memperebutkan menang dan kalah, ada orang yang merasa di atas angin dan tidak mau memaafkan orang, ada orang yang berlaku licik untuk menyelamatkan diri, ada orang yang bicaranya sangat keras dan menyakitkan, ada orang yang senang menatap orang lain dengan tatapan yang tajam atau sinis, tetapi mereka semua telah lupa untuk melihat tingkah laku dirinya sendiri.
Ini mungkin adalah watak dasar jahat dari manusia, yang lebih senang mendengarkan persoalan benar dan salah dari orang lain, mengritik kesalahan orang lain. Meskipun topik semacam ini juga telah mengungkapkan banyak sekali fakta dan keadaan yang tidak diketahui oleh dunia luar, akan tetapi setelah mengikuti makan bersama semacam ini, perasaan bukan menjadi senang, sebaliknya dalam hati akan timbul semacam kesedihan dan ketidak berdayaan.
Mendengarkan orang lain membicarakan orang lain, dengan topik, kejadian dan kritikan yang sama, dimana sudah pernah saya dengar berulang-ulang, walaupun orang yang dibicarakan itu memang sesungguhnya adalah demikian, tetapi, orang lain itu justru bagaikan sebuah cermin, merefleksikan hati kita sendiri - apakah kita bersyukur? Gembira? Marah? Iri? Tidak peduli jenis yang manapun, kesemuanya bukan perasaan yang saya dambakan.
Karena ada eksistensi manusia, maka baru ada hati manusia, tetapi setelah dilihat-lihat, maka masalah antara manusia dengan manusia, hanyalah itu itu saja. Saya marah terhadap diri saya yang berada dalam keadaan itu, bukan hanya tidak dapat mengalihkan topik pembicaraan kepada hal-hal yang positif, juga hanya bisa bungkam seribu bahasa.
Dipikir-pikir secara mendalam, "Menutupi kekurangan dan memberitakan kebaikan" sungguh adalah kebajikan yang jarang ada. Bagaimanapun, setelah mengetahui pihak lawan adalah orang yang bagaimana, selain tidak mengikuti jejaknya, juga tidak memanas-manasi keadaan, tidak membicarakan dan tidak menyebarluaskan kejelekan pihak lain, berusaha sedapat mungkin melihat sisi kebaikan dia, tidak memikirkan sisi kejelekan dia, di manapun kita berada selalu memberitakan perbuatan kebajikan, ini sungguh bukan hal yang mudah.
Banyak sekali orang yang merasa senang jika melihat orang lain berbuat kesalahan, melakukan tindakan yang memalukan, tidak senang orang lain membicarakan kekurangan kita, akan tetapi jika mendengarkan orang lain sedang mengatai seseorang, dengan segera kita tambahkan untuk beberapa kata, mencelakakan orang yang sudah dalam keadaan gawat, untuk memamerkan bahwa diri sendiri lebih tahu dari pada yang lain.
Akan tetapi, kebiasaan "mengritik" dan "mengadu kekurangan" semacam ini, dapatkah disebut baik? Perkataan dan perbuatan yang bagaimana baru benar-benar bisa membantu orang lain? Prinsip yang berada di depan mata, mengapa saya tidak dapat melaksanakan?
Perkataan yang sangat sederhana tetapi memiliki bobot yang sangat berat : Lebih banyak melihat kebaikan orang lain, sedikit melihat kekurangan orang lain. Saya kira tidak peduli bagaimanapun juga, saya harus melakukan dengan baik, jika kita tidak bisa merubah lingkungan, setidaknya kita harus bisa menjaga sikap kita. (Xiao Suo/The Epoch Times/lin)