Selama perang dunia kedua, di dalam arus para pengungsi, ada seorang ibu membawa anaknya yang masih berusia tiga tahun, mengikuti arus manusia menuju ke tempat yang jauh.
Ibu ini menghancurkan rangsum terakhirnya dan yang hanya sedikit itu, disuapkan ke mulut anaknya, melihat muka anaknya yang kurus, tak tertahankan dia menitikkan air mata.
Dia tahu, dia sendiri sudah dua hari tidak makan, hidup dalam kelaparan dan kedinginan selama setengah bulan, membuat tubuhnya menjadi sangat lemah sekali. Dia khawatir dirinya sudah tidak bisa bertahan lagi, dan pada akhirnya anaknya pun tidak akan dapat melangsungkan hidup.
Setelah dia pikir-pikir, ibu tersebut lalu menggendong anaknya ke hadapan seorang pengungsi. Orang tersebut dulu adalah tetangganya, seorang dokter, orangnya sangat baik, dia tahu akan hal itu, maka dia berpikir jika saat ini anaknya dipercayakan kepada tetangganya ini, pasti tetangganya ini bisa memelihara anaknya ini hingga dewasa.
“Saya akan berterima kasih kepada Anda seumur hidup saya”, ibu tersebut berlutut di hadapan tetangganya itu, “Mohon Anda bisa membawa serta anak saya ini untuk mengungsi bersama Anda.”
“Tidak, saya tidak akan mengabulkan permintaan Anda.”
Tetangganya itu menolak permintaannya, setelah dengan sekilas ia memeriksa keadaan tubuh si ibu dan anaknya itu, “Masalah yang saya hadapi sudah cukup runyam, saya sudah tidak bisa membantu Anda lagi.”
Ibu ini terpaksa menggendong anaknya, melanjutkan perjalanan mereka.
Sepanjang perjalanan, tidak henti-hentinya ada orang yang terjatuh di pinggir jalan, dan tidak bangun lagi untuk selamanya. Tetapi ibu ini bisa secara ajaib membawa anaknya, menembus garis perbatasan dan tinggal di dalam kemah pengungsi.
Alasan utama Ibu ini bisa bertahan adalah karena dia tahu, jika dia pun tidak bisa melindungi anaknya, maka tidak akan ada orang lain lagi yang bisa membantu dia untuk mengasuh anaknya hingga dewasa.
Di kemah pengungsi, dia akhirnya berjumpa lagi dengan tetangganya itu.
“Anda dan anak Anda membutuhkan sebuah penopang.” Tetangganya itu berkata, “Hanya dengan kalian saling menopang, ibu dan anak baru bisa selamat.” Saat ini ibu tersebut baru menyadari kebaikan hati dari tetangganya itu.
Cinta merupakan suatu penopang. Cinta, telah menopang jiwa dari ibu dan anaknya itu. Pendidikan terhadap anak juga haruslah demikian.
Jika cinta bisa menopang sebuah harapan, lalu ada apa lagi yang tidak bisa tertopang oleh cinta? (Lin Jiang/The Epoch Times/lin)