Sebagai salah satu minuman yang paling digemari di dunia teh merayakan kemenangan infiltrasinya ke dalam setiap rumah tangga dan menunjukkan lebih dari ribuan tahun efektifitasnya yang menyehatkan dan memperpanjang usia yang menurut sebuah studi AAS (American Association of Science). Hal ini terutama ditunjukkan oleh orang Jepang dengan kebudayaan teh tradisional mereka. Sejarah yang kaya tersebut dimulai dari Tiongkok dimana tradisi penanaman teh dan penikmatan teh sudah sangat tua.
Dari Obat Sampai Minuman Elit
Penemuan budidaya teh dari tanaman teh dapat ditelusuri hingga ke zaman kuno pada masa pemerintahan kepala suku Shen Nong (sekitar 2.800 SM). Sesuai dengan legenda, Shen Nong memeriksa efek penyembuhan ratusan tanaman perdu yang tumbuh liar. Akhirnya ia menulis pengetahuan yang telah ia kumpulkan tersebut ke dalam sebuah buku “Shen Nong Ben Cao Jing”. Dalam buku itu ditunjukkan bahwa bagi Shen Nong teh adalah sebuah herbal dan sesuai dengan catatan di dalam sejarah, pada awalnya teh hanya diminum sebagai herbal/toga oleh orang Tionghoa. Baru pada permulaan dinasti Zhou (1046-771 SM) teh mulai masuk ke kalangan istana kerajaan yang kemudian mendirikan ritual meminum teh.
Pada saat itu teh belumlah populer sebagai minuman. Daun teh lebih sering dimasak dan disantap sebagai lauk untuk nasi dan sayuran, dimana teh berfungsi sebagai bahan penawar racun.
Untuk kali pertama teh selama dinasti Han (202-220 SM) terutama dihidangkan sebagai minuman diantara para cendekiawan. Lantaran peningkatan konsumsi teh pada kala itu berkembanglah ritual minum teh di kalangan istana kekaisaran. Apabila sang penguasa mengundang para cendekiawannya, ia men-service mereka dengan teh, sebagai pertanda pengakuan khusus. Di kemudian hari teh menjadi begitu digemari bahwa pejabat tinggi seperti perdana menteri Zhuge Liang, alias Kong Ming, memerintahkan pembudidayaan teh di sejumlah perkebunan selama masa Tiga Kerajaan / Samkok (220-280). Pengakuan terhadap teh telah berkembang luar biasa hingga ke suatu taraf bahwa ia bersama pusaka kecintaan lainnya dikuburkan bersama jenazah para kaisar Tiongkok.
Akan tetapi teh sampai dengan dinasti Sui (581-618) terutama hanya dikonsumsi cendekiawan kaya, pejabat dan istana kaisar. Ia diperdagangkan sebagai minuman mewah, yang tak dapat dinikmati oleh rakyat pada umumnya. Baru setelah dinasti Tang (618-907) teh akhirnya tersebar di seluruh lapisan masyarakat.
Dinasti Tang bukan hanya merupakan kejayaan tertinggi Tiongkok zaman kuno di dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan sosial, melainkan ia juga merupakan puncak dari kebudayaan teh Tiongkok. Sang kaisar mewajibkan kepada para prefektur/penguasa otonom yang memiliki perkebunan teh untuk menyediakan sebuah “persembahan teh”. Persembahan/upeti tersebut harus diserahkan sebelum perayaan Cing Bing / Qing Ming (tanggal 5 April), sehingga teh tersebut selama perayaan Cing Bing dapat dikonsumsi oleh keluarga kerajaan. Di kalangan istana kekaisaran para selir berebut mempersiapkan teh di dalam kesenian seremoni teh, secara teratur perlombaan teh dilangsungkan di istana kekaisaran.
Minum Teh Sebagai Peningkatan Spiritualitas
Pada akhirnya teh merayakan klimaks kejayaannya melalui penemuan “Cha Dao (baca: Ja Tao)” – seremoni teh yang disebarkan oleh Lu Yu (713-756). Di dalam bukunya yang berjudul “Cha Jing” (secara harfiah: Ringkasan mengenai Teh) ia melukiskan penyeduhan dan minum teh sebagai proses bernuansa seni, dimana daun-daun tersebut dikeringkan dan air, teko maupun cangkirnya harus pilihan dan pada penghujung ritual teh tersebut dinikmati secara seremonial. Terinspirasi oleh ide Khonghucu tentang harmoni, prinsip buddhis tentang sejati dan ajaran taoisme tentang kemanunggalan antara manusia dan jagad raya, Lu Yu menemukan bahwa minum teh adalah sebuah metode peningkatan spiritualitas.
Untuk menekankan pengakuannya atas teh, para cendekiawan zaman dinasti Song (960-1279) mengarang sendiri puisi. Sementara itu di kalangan istana telah menjadi kebiasaan, pemberian teh dihitung dalam bentuk briket. Briket-briket itu terdiri dari daun-daun teh yang telah digiling halus, di-pres dalam sebuah proses pembuatan yang kompleks dengan motiv sepasang naga dan burung Hong/phoenix yang eksklusif. Permintaan untuk teh Tiongkok dan cawan teh juga meningkat, pada saat itu perangkat minum teh yang paling populer ialah yang terbuat dari porselin hitam.
Dengan berlalunya era dinasti Song datanglah dinasti Yuan (1271-1368) dimana kebudayaan teh di bawah kekuasaan suku bangsa Mongol telah mengalami penyederhanaan. Teh bagaimanapun tetap populer, namun pengakuan sebelumnya telah sirna. Pelaksanaan seremoni teh hanya terpelihara di antara para cendekiawan saja.
Kelahiran kembali kebudayaan teh kali terakhir terjadi selama dinasti Qing (baca: Ching, 1644-1922) melalui pendirian kedai-kedai teh. Tradisi para birokrat, untuk menjamu tamu asing dengan teh, akhirnya telah berdampak bahwa minum teh telah menyebar ke seluruh dunia.
Persiapan Penyeduhan Teh hijau
Sebagai sebuah set yang pas kita dapat menggunakan sebuah Yi Xing atau sebuah Yin Ko (merk perangkat terkenal untuk teh pada jadul di Tiongkok) sebagai cawan kecil; semakin cawannya kecil, kualitas teh tersebut semakin baik. Perbandingan daun-daun hijau dengan air untuk sebuah tenggak mestinya antara 1:3. Suhu air ideal untuk dedaunan terbuka berkisar antara 80-85ºC, pada jenis teh dengan fermentasi kuat sampai dengan 95º. Teh tersebut dibiarkan selama sekitar 30-60 detik.
Pada awalnya suhu semestinya lebih tinggi dan waktu peyeduhan lebih pendek. Dari cangkir ke tiga sampai cangkir ke 6 dibutuhkan hanya waktu yang singkat dengan suhu rendah. Apabila intensitas kenikmatannya menjadi berkurang, maka suhu airnya dapat dinaikkan. Teh dapat berubah karakter rasanya dari tuangan satu ke tuangan berikutnya. (Epochtimes/Whs)