Pada zaman Dinasti Ching, di Kabupaten Che-xhiang hidup seorang kaya yang baik hati bernama Ong Wong. Ia mempunyai sembilan orang anak laki-laki. Namun kesembilan putranya itu amat dungu. Walaupun demikian kedua suami-istri itu amat mencintai putra-putrinya, sekalipun tidak sedikit kesusahan yang ditimbulkan akibat pemborosan yang dilakukan kesembilan putranya itu. Pada suatu masa, terjadi musim kemarau panjang, hingga timbullah paceklik.
Banyak korban berjatuhan akibat kelaparan dan kehausan, mayat bergelimpangan di sana-sini. Bagi yang tidak mati keadaan fisiknya juga lemah, mukanya pucat pasi. Melihat keadaan itu, Ong Wong menjual sebagian harta kekayaannya untuk menolong para korban bencana, sehingga banyak sekali orang yang dapat diselamatkannya dari mati kelaparan. Semua orang menganggap saudara Ong Wong sungguh seperti Bodhisattva Kwan Im hidup yang penuh welas asih dan cinta kasih.
Hal mana disebabkan Ong Wong dan istrinya adalah penganut agama Buddha yang taat, terlebih lagi amat percaya dan memuja Bodhisattva Kwan Im, maka ia dapat rela dan penuh rasa sosial, menjual harta bendanya guna menolong orang lain tanpa sedikit pun merasa kikir. Sungguh Ong Wong telah menjalankan salah satu Sad Paramita yakni Dana Paramita yang merupakan jalur untuk menempuh tingkat Bodhisattva.
Sejak itu, terjadilah suatu hal yang di luar dugaan orang. Semua putra Ong Wong terjangkit suatu penyakit berbahaya. Dalam jangka waktu beberapa tahun saja susul-menyusul sembilan putranya itu meninggal dunia.
Ah! Ong Wong yang taat memuja Bodhisattva Kwan Im, menjalankan Dana Paramita, menolong sekian banyak nyawa manusia, mengapa tidak mendapat balasan yang baik? Apakah Bodhisattva tidak melindungi dan mengetahui? Kejadian yang cukup tragis ini, sempat membuat Ong dan istrinya bersedih sekali. Sebagai penganut agama Buddha yang giat menjalankan kebaikan, malah mendapat kemalangan yang tak terduga. Itu merupakan suatu batu ujian, yang menguji kokohnya keyakinan dirinya terhadap Sang Buddha.
Kesembilan putra Ong telah meninggal dunia dan kemungkinan juga mereka tidak akan mempunyai keturunan lagi. Akan tetapi keyakinan mereka kepada Bodhisattva tidak berubah sedikit pun, tetap seperti biasa, pagi dan sore mambaca paritta dan bersembahyang di hadapan Bodhisattva Kwan Im. Dan pada suatu hari mereka membuat sebuah tulisan yang berisikan jeritan hati yang cukup memilukan dan dibakarnya di hadapan Bodhisatva Kwan Im.
Pada malam harinya Ong Wong bermimpi, ia didatangi Bodhisattva Kwan Im yang mengenakan jubah putih-putih, dengan penuh kasih sayang berkata kepadanya: "Kesembilan anakmu itu adalah jelmaan sembilan setan, yang khusus datang menghamburkan harta keluargamu, hal mana berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan leluhurmu. Namun setelah engkau menjual harta benda, menolong para korban bencana, menolong sekian banyak orang, sungguh besar kebajikanmu itu. Maka Tuhan menarik kembali sembilan setan itu. Tak lama lagi akan mengutus para dewata untuk lahir di keluargamu, janganlah bersedih lagi, masa depanmu amat cerah dan makmur."
Keesokan paginya Ong Wong menceritakan mimpinya itu kepada istrinya. Dengan penuh keheranan istrinya berkata: "Ah! Saya juga bermimpi yang sama." Sejak itu mereka tidak bersedih hati lagi, malah lebih tekun melakukan kebaikan, menolong orang yang susah, yatim piatu dan orang jompo tanpa mengenal keluh kesah.
Tak lewat waktu dua belas tahun, istrinya melahirkan