Suatu ketika saya bersama sanak keluarga mengadakan perjalanan wisata ke pegunungan Rocky, Kanada. Sebelum perjalanan ini berakhir, seorang pemandu wisata datang mendekati saya dan berkata, "Sungguh kagum kepada Anda, saya telah memandu banyak sekali rombongan tur, sangat jarang sekali melihat sepasang suami-istri tidak bertengkar dalam perjalanan tur."
Ketika itu saya menjadi sangat heran, dalam hati saya berpikir, "Pergi bertamasya bukankah seharusnya bergembira? Mengapa harus bertengkar?"
Belakangan setelah saya pikir lebih dalam, saya kira perkataan dari pemandu itu sebenarnya sangat beralasan.
Saya teringat kepada sepasang teman baik saya, mereka berdua pergi bertamasya ke Eropa dengan biaya sendiri. Sekembalinya dari Eropa mereka berpisah dalam keadaan yang tidak menyenangkan, mereka berdua saling mencela dengan menyebutkan satu persatu kesalahan pihak yang lain. Masing-masing merasa pihak lain yang lebih bersalah.
Jalinan persahabatan selama puluhan tahun, hampir saja kandas hanya karena sekali perjalanan tamasya. Kedua teman baikku ini sempat perang dingin dalam waktu yang sangat panjang, menunggu emosi mereka berdua reda, baru mereka menjalin hubungan baik seperti sediakala.
Menurut teman saya, hal itu sudah biasa demikian, apalagi jika itu adalah sepasang suami-istri! Benar-benar terbukti oleh kata, "Menjalin kasih sangat mudah, hidup bersama itu sulit."
Mungkin Anda sering mendengar orang berkata, sepasang kekasih yang mabuk dalam cinta, segera sesudah mereka menikah, pertengkaran di tahun pertama paling hebat. Menurut aturan, pengantin baru seharusnya mesra dan lengket seperti lem, bagaimana mungkin bertengkar terus-menerus?
Tetapi ketika Anda menjadi suami orang, atau Anda menjadi istri orang, Anda baru akan menyadari bahwa perkataan ini tidak salah.
Kehidupan dalam pernikahan sangat realistis dan harus menyesuaikan kebiasaan kedua belah pihak yang punya latar belakang berbeda. Seperti tutup kloset perlu diangkat atau tidak, bagaimana harus memencet pasta gigi, sehabis mandi lantai boleh menjadi basah atau tidak......
Kesemua hal-hal sepele ini bisa menjadi sebab terjadinya pertengkaran yang bila tidak diikuti oleh salah satu pihak untuk mengalah, maka akhirnya bisa meruncing ke perceraian.
Menonton TV juga menjadi persoalan besar. Istri senang menonton film seri pada jam delapan malam, sedangkan suami ingin melihat berita.
Suami yang telah berjuang seharian di luar, merasakan dirinya lebih mempunyai hak prioritas dari pada siapapun juga. Istri yang berada di rumah juga tidak menganggur, cuci pakaian, membersihkan lantai, memasak nasi, mengasuh anak dan lain-lain, dengan susah payah menunggu malam hari baru bisa menuangkan perasaan di dalam film sinetron, tetapi masih harus melihat air muka sang suami.... siapa yang lebih berhak, siapapun bisa merasakan dipersalahkan.
Kalau begitu adakah cara penyelesaiannya untuk persoalan-persoalan di atas? Tentu saja ada, yaitu menggunakan kecerdasan dengan cara mundur selangkah demi maju. Akan tetapi mudah mengatakan sulit dilakukan, lalu bagaimana baru bisa melakukan? Sebenarnya ingin melakukan kecerdasan ini juga tidak sulit, kunci suksesnya adalah memikirkan orang lain lebih dahulu.
Teman karib saya Yuni, didalam hidup pernikahannya adalah seorang pengatur yang handal.
Pinggang suaminya itu kurang baik, kesulitan untuk membungkuk. Sudah menjadi suatu kebiasaan bagi Yuni yang sangat perhatian, setiap kali dia selesai membuang air besar, pasti tutup kloset sekalian diangkat. Tindakan ini boleh dikatakan dilakukannya demi suaminya, agak tidak perlu membungkuk dulu bila hendak buang air. Walaupun hanya gerakan yang sepele, tetapi penuh dengan rasa perhatian.
Yuni senang melihat saluran televisi yang menyiarkan Discovery, pagi hari jika ada waktu senggang, dia akan menyalakan TV untuk menonton sebentar. Malam hari ketika suaminya pulang dari kantor, dia tidak pernah berebut hak untuk menonton TV dengan suaminya. Selalu menyerahkan hak itu dengan tanpa syarat kepada suaminya. Jika agak malam suaminya berada di ruang baca, maka TV itu secara wajar menjadi miliknya lagi.
Kadang, walaupun situasinya agak kurang nyaman, karena suaminya benar-benar telah 'menguasai' TV terlalu lama, Yuni akan duduk di pinggir suaminya tepat pada waktunya, dengan nada berunding dia akan berkata, "Bisakah menonton saluran yang lain?"
Dia sudah menghitung tepat waktu siaran berita sudah selesai, biasanya sepuluh menit kemudian suaminya akan menyetujui untuk pindah ke saluran yang lain.
Orang yang matang dan berakal sehat sering mengatakan, "Mundur selangkah, menjadi luas tiada batas bagai laut dan angkasa."
Filsafat pernikahan Yuni, mungkin ada orang yang menganggapnya terlalu 'mengalah'. Sebenarnya dia hanya memberi tekanan lebih pada perhatian dan menghargai.
Didalam berumah tangga, bukan hanya ada cinta kasih saja, masih ada masalah-masalah kecil yang tidak terhitung banyaknya, dalam hal ini suami dan istri lebih-lebih harus selalu mengutamakan kebaikan budi. (The Epoch Times/lin)