Facebook mengubah kebijakan kebebasan pribadinya setelah mendapat protes dari usernya. (RAM SRINIVASAN/THE EPOCH TIMES) |
Upaya Facebook untuk membangun model bisnis di sekitar jaringan sosial online rupanya terkena batu sandungan, ketika mendapat serangan dari para pemakainya yang meminta kebijakan baru.
Perselisihan ini menyangkut perubahan yang dilakukan Facebook terhadap syarat persetujuan layanan. Beberapa kritikus mengatakan bahwa perubahan itu tampaknya untuk memberikan hak penuh pada perusahaan dalam mengambil isi dari apa-pun yang ditampilkan oleh pengguna di jaringan itu.
People Against the new Terms of Service (Persatuan perlawanan persyaratan layanan baru), sebuah grup yang didirikan dalam Facebook yang berupaya melawan perubahan tersebut, telah menghitung lebih dari 88.000 pengguna.
Kolom about-face dalam Facebook menekankan sensitivitas di mana banyak konsumen memberikan data pribadi mereka, bahkan di situs-situs dimana mereka biasanya berbagi dengan bebas informasi kehidupan mereka dengan teman-teman di dunia maya.
Hal itu mencerminkan tantangan yang dihadapi Facebook ketika mereka berupaya menekan terlepasnya pemasukan mereka sebagai hasil dari jaringan yang berjumlahkan 175 juta pengguna dan untuk mengimbangi biaya perkembangannya yang sangat cepat.
Facebook “terbakar” dengan cepat akibat dari pendanaan awalnya, kata Sanford Bernstein analis Jeffrey Lindsay. Diantaranya, jaringan sosial itu perlu membayar komputer-komputer dan peralatan untuk hosting layanan onlinenya di seluruh dunia.
“Itu adalah benar-benar uang dalam jumlah sangat besar,” kata Lindsay. “Mereka sadar bahwa mereka harus mendapat suatu model bisnis.”
Sebagai perusahaan pribadi, Facebook tidak pernah membuka informasi keuangannya. Menurut Lindsay situs itu dirumorkan menghasilkan 100 juta dolar sampai 300 juta dolar AS per tahun. Sebagian besar pendapatan ini berasal dari perjanjian penayangan iklan oleh Microsoft Corp, yang memiliki 1,6 persen saham Facebook.
Mendapat pengembalian yang lebih baik dari bisnis ini merupakan siasat dari Facebook.
Facebook memperkenalkan suatu layanan yang disebut Beacon pada 2007, yang bisa melacak kegiatan online masing-masing pengguna, seperti misalnya pembelian ketika mengikuti situs e-commerce, dan melaporkan data itu ke teman masing-masing pengguna.
Tapi layanan itu malah menimbulkan kegusaran pribadi, dan Facebook melakukan perubahan dengan mempermudah pengguna untuk mematikan layanan itu.
Dalam menanggapi perselisihan terakhir, CEO Facebook Mark Zuckerberg menulis pada blog yang diterbitkan dengan menyatakan bahwa pada akhirnya para pengguna dapat memiliki dan mengatur informasi pribadi mereka.
Zuckerberg menyatakan bahwa perusahaan akan mengembalikan syarat layanan ke aturan yang semula karena pesetujuan layanan itu lebih dapat diterima.
Hal itu meninggalkan ketidakjelasan model Facebook dalam mengembangkan bisnis.
Tambang emas perusahaan itu adalah berlimpahnya informasi pengguna yang biasa ditampilkan oleh pengguna pada jaringan itu, tutur analisis media IDC Caroline Dangson, karena data yang ada bisa saja dipakai sebagai target iklan atau untuk dijual ke firma-firma penelitian.
Tapi perusahaan itu butuh untuk menemukan keseimbangan yang tepat antara menguangkan data dan menghormati privasi orang lain.
“Kita baru memulai proses dan mencoba untuk mengetahui dan memahami sampai sejauh mana konsumer mau bertoleransi.”
Dan pengembangan demografis Facebook, yang terus meningkat, termasuk pengguna berumur dan dan pengguna international, menandakan bahwa harapan mendapatkan hak privasi tidak seragam. Menurut Bernstein, Facebook harus menanggapi hal ini dengan hati-hati.
“Pandangan kita, Facebook masih memiliki banyak cara untuk mendapatkan keuntungan yang banyak, tapi sepertinya mereka terus-menerus melakukan kesalahan,” tutur Lindsay.
“Jika mereka tidak berhati-hati, kesalahan sebesar itu akan merugikan mereka sampai ke pengguna yang paling dasar.” (Reuters/den)