Kota Tua Yerusalem dilihat dari sebuah gedung tinggi. Kubah abu-abu di kiri adalah Gereja Makam Kudus, menara di tengah adalah Gereja Lutheran Sang Penebus, dan kubah kuning emas di sisi kiri a dalah Kubah Batu (Chris Mallinos/The Epoch Times |
Segera setelah mereka memasuki ruangan, sekitar 100 orang yang telah menunggu mulai berdesak-desakan mengambil posisi, berharap dapat mendekat. Saat itu sekitar pukul 2.30 pagi, tetapi tidak ada satu pun yang pergi meninggalkan ruangan lebih awal. Ketika orang-orang dalam kelompok tersebut akhirnya mendapatkan apa yang mereka tunggu-tunggu, wajah mereka dipenuhi kebahagiaan. Diantaranya bahkan tak kuasa menahan tangis.
Namun, itu bukanlah konser atau pun pesta olah raga. Juga bukan sekelompok pemburu tanda tangan selebriti kesayangannya. Mereka adalah peziarah yang menerima perjamuan kudus di Gereja Makam Kudus. Selamat datang di Yerusalem.
Kebaktian seperti itu adalah hal umum di kota suci. Ada di mana-mana. Sebagai pengunjung, baik religius maupun tidak, tidak banyak yang kita dapat lakukan, tetapi tetap tersentuh oleh spiritualisme yang menyelimutinya. Saya sendiri merasakan.
Saya baru-baru ini mengunjungi Yerusalem sebagai orang yang non-Kristen, hanya tertarik dengan sejarah kota tua itu, tetapi berakhir dalam perjalanan religius yang pribadi.
Kota tersebut, tentu saja terbagi menjadi dua bagian – baru dan tua. Kota baru adalah Yerusalem yang modern, dimana para pengunjung dapat menemukan toko modern, restoran dan beragam café, begitu pula bangunan bank dan kantor peme-rintahan seperti umumnya di berbagai ibu kota utama.
Kota tua walaupun bersebelahan dengan kota baru, terasa seperti terpisah beberapa tahun cahaya. Dikelilingi oleh tembok kuno, campuran antara bazar, gereja, situs sejarah dan toko-toko yang menjual berbagai barang religius. Jalan berbatu yang panjang, sempit dengan penerangan seadanya, namun penuh dengan berbagai kesibukan. Lonceng gereja dan azan shalat terdengar berkumandang di siang hari. Suatu tempat dimana sejarah dan agama serasa menggantung di atas kepala seperti awan tebal yang menyelimuti.
Penghentian pertama di kota tua adalah di Gereja Makam Kudus – dibangun pada masa Golgota kuno – dimana Injil me-ngatakan, Yesus disalibkan, dimakamkan dan bangkit. Ketika saya masuk ke dalam gereja, saya segera merasakan perbedaan. Ada kehadiran sesuatu di dalamnya. Saya bukan religius namun dapat merasakannya.
Makam Yesus Kristus di dalam Gereja Makam Kudus di Yerusalem (Chris Mallinos/The Epoch Times) |
Di balik pintu raksasa, saya menemukan sebongkah batu dimana dipercaya tubuh Yesus diletakkan setelah penyaliban. Batu tersebut diapit oleh lilin-lilin dan dikelilingi para peziarah yang terlihat sangat tersentuh perasaanya. Mereka berlutut, mencium batu dan berdoa. Suatu pemandangan yang amat bermakna.
Di satu pojok adalah Makam Yesus Kristus, yang meliputi sebuah struktur mengagumkan berukuran sebuah rumah. Dikelilingi oleh lilin, baik besar maupun kecil, dan sebuah lukisan Yesus naik ke Surga tergantung di pintu. Tali panjang mirip ular di sisinya dengan orang-orang yang menunggu untuk masuk.
Ketika saya berdiri di sana, saya tersentuh dengan keantusiasan pengunjung makam. Wajah mereka penuh penyerahan diri, campuran antara kebahagiaan dan kesedihan. Mereka menangis dan saling berpelukan, membuat tanda salib. Itu hal paling spiritual yang pernah saya lihat dan rasakan. Saya seolah hanyut memasuki makam.
Saya masuk ke dalam dengan tiga biarawati. Mereka semuanya sudah berusia lanjut, dan terlihat jelas sangat tersentuh dengan pengalaman ini. Kami membungkukkan badan dan masuk melalui pintu kayu yang kecil. Saya letakkan kepala saya di atas makam dan membiarkan diri saya diliputi oleh kesucian tempat tersebut. Setelah beberapa saat, kami diberitahu agar memberi jalan bagi kelompok 4 orang berikutnya dan diantarkan keluar oleh pendeta Yunani berjanggut.
Baru saja berhasil menarik diri, saya menuju ke lantai dua dari gereja tersebut, menuju lokasi di mana Yesus disalibkan. Tempat tersebut seluruhnya ditutupi dengan emas. Ada salib kayu besar di tengah, diterangi oleh banyak lilin dan dihiasi ikon di sisi lainnya. Sekali lagi, saya dipenuhi oleh pengalaman batin. Saya tertegun. Para peziarah duduk dengan diam, sementara berbagai kelompok gereja memanjatkan doa-doa. Saya duduk sejam untuk menyerap semuanya.
Saya akhirnya meninggalkan gereja dan belok ke kanan, menuju Via Dolorosa. Jalan dimana dikatakan Yesus telah memikul salib-Nya menuju jam-jam terakhir hidup-Nya. Saya berjalan melewati pendeta, biarawati dan pengunjung yang penuh keingintahuan. Selalu ada prosesi di sepanjang jalan, lengkap dengan peziarah yang muram memanggul salib besar dan berdoa.
Setelah beberapa kali berbelok ke arah yang salah, saya akhirnya tiba di tembok barat. Itulah yang tersisa dari tempat ibadah kedua agama Yahudi, dan sekarang secara simbolis digunakan sebagai gereja Yahudi di tempat terbuka. Tempat tersebut dipenuhi oleh peziarah Yahudi. Tidak ingin menghindar dari pengalaman yang sesungguhnya, saya meminjam Yarmulke dan mendekati tembok secara perlahan.
Saya menggabungkan diri dalam kelompok berjubah ortodoks yang berdoa dengan penuh semangat. Mereka mengayun badannya ke depan dan ke belakang dalam keadaan ‘trance’, se-perti tidak sadarkan diri. Doa mereka sulit dimengerti, hanya muncul gumanan yang terus-menerus. Kepala saya sandarkan dengan lembut ke tembok dan mencoba memahami kekuatan titik di mana saya berpijak. Setelah satu dua menit, saya mening-galkan tempat itu dengan segala kerendahan hati.
Seminggu penuh di Yerusalem dipenuhi dengan saat-saat seperti ini – pengalaman yang berharga bagi kepribadian dan spiritualisme secara bersamaan. Tidaklah mungkin berjalan melalui kota tua selama lebih dari beberapa menit tanpa melewati sesuatu yang penuh arti bagi pengikut Kristen, Yahudi ataupun Muslim.
Apakah Anda percaya atau tidak, tidak mungkin keluar dari semangat yang menyelimuti, yang menembus dinding tembok kota tua tersebut. Kunjungan tersebut telah memaksa saya untuk mempertimbangkan kembali pandangan saya akan agama. Seperti jutaan orang sebelum saya, saya sangat tersentuh selama di Yerusalem. Dan seperti jutaan orang sebelum saya, saya merasa perlu untuk kembali. (erabaru.or.id)*